A. PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) Konflik
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan.
Ada beberapa
pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977),
konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai
keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut
dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi
merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan
dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
5.
Menurut Kartono
& Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi
dan tindakan dengan orang lain.
Dengan demikian, Konflik adalah satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih.
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat
langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang
bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran
pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan. Tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
B.
SUMBER KONFLIK
Konflik yang
terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya
sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk
dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada
kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian
halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber
konflik antara manusia.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual
dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya
sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh
karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber
konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang
sifatnya rasional.
C. PENYEBAB KONFLIK
1.
Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran
dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan
individu yang dapat memicu konflik.
3.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar
belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh
masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan,
hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas
terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat
dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
D. JENIS-JENIS KONFLIK
Menurut Dahrendorf, konflik
dibedakan menjadi 4 macam :
1.
Konflik
antara atau dalam peran sosial
(intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi
(konflik peran (role)
2.
Konflik
antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3.
Konflik
kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4.
Koonflik
antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
5.
Konflik
antar atau tidak antar agama
6.
Konflik
antar politik.
E.
AKIBAT KONFLIK
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup)
yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya
rasa dendam, benci, saling curiga dll.
4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat
dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang
berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap
hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya
akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan
menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi
pihak tersebut.
- Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk menghindari konflik.
F.
CONTOH KONFLIK
-
Konflik
Katolik-Protestan di Irlandia
Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
-
Banyak
konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini
termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik
di Rwanda, dan
konflik di Kazakhstan.
G. PROSES KONFLIK
Menurut Robbins
(1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
1.
Oposisi atau
ketidakcocokan potensial
Adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya
koinflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah
satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut
dikelompokkan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu
masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi
dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari konflik.
Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan
anggotatujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari
konflik. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan
karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal
dari konflik.
2. Kognisi dan personalisasi
Adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap
konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan
eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik.
Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan
emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan,
frustasi dan pemusuhan.
3. Maksud
Adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari
pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan
tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten.
Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu:
- Bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat
untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya
terhadap pihak lain dalam suatu episode konflik;
- Berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik
masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak,
kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak;
- Mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang
berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan
suatu konflik;
- Mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan
seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk
menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya; dan
- Berkompromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing
pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya
masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat untuk
menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun,
serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap
pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil.
4.
Hasil
Adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan
menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan
suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi
kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya
terang-terang an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif,
ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham
kecil.
H.
POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam
kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus
ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik
berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik
menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus
diselesaikan.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode
resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode
penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar
konflik dapat diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan
(smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik
dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang
mengarah pada perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya,
memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan
memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh
kedua belah pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai
yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif.
Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya
ditempuh cara:
1. Paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan
paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan
reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya;
2. Penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut;
3. Bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga
perselisihan akan semakin tajam;
4. Koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan
tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa
menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’;
5. Tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah
karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang mejadi
haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi korban konflik.
Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga
cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan
(arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi
berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan
konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara
efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
1.
Harus mampu mengambil
keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain;
2.
Lembaga harus bersifat
monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian;
3.
Lembaga harus mampu mengikat
kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik; dan
4.
Lembaga tersebut harus
bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di
antara beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya
akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi,
dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk
pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan
penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik
dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik
bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan
keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan
mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk
menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.
Pola penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan
menggunakan strategi seperti berikut:
1.
Gunakan persaingan dalam
penyelesaian konflik, bila tindakan cepat dan tegas itu vital, mengenai isu
penting, dimana tindakan tidak populer perlu dilaksanakan;
2.
Gunakan kolaborasi untuk
menemukan pemecahan masalah integratif bila kedua perangkat kepentingan terlalu
penting untuk dikompromikan;
3.
Gunakan penghindaran bila ada
isyu sepele, atau ada isu lebih penting yang mendesak; bila kita melihat tidak
adanya peluang bagi terpuaskannya kepentingan anda;
4.
Gunakan akomodasi bila
diketahui kita keliru dan untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik
didengar, untuk belajar, dan untuk menunjukkan kewajaran; dan
Gunakan kompromis bila tujuan penting, tetapi tidak layak
mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih tegas disertai kemungkinan
gangguan
BAB 5 KONFLIK SOSIAL
A. PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) Konflik
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan.
Ada beberapa
pengertian konflik menurut beberapa ahli.
6. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977),
konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai
keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
7. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
8. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut
dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
9. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi
merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan
dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
10.
Menurut Kartono
& Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi
dan tindakan dengan orang lain.
Dengan demikian, Konflik adalah satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih.
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat
langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang
bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran
pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan. Tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
B.
SUMBER KONFLIK
Konflik yang
terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya
sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk
dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada
kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian
halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber
konflik antara manusia.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual
dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya
sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh
karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber
konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang
sifatnya rasional.
C. PENYEBAB KONFLIK
5.
Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
6.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran
dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan
individu yang dapat memicu konflik.
7.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar
belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh
masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan,
hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas
terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
8.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat
dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
D. JENIS-JENIS KONFLIK
Menurut Dahrendorf, konflik
dibedakan menjadi 4 macam :
7.
Konflik
antara atau dalam peran sosial
(intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi
(konflik peran (role)
8.
Konflik
antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
9.
Konflik
kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
10.
Koonflik
antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
11.
Konflik
antar atau tidak antar agama
12.
Konflik
antar politik.
E.
AKIBAT KONFLIK
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
6. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup)
yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
7. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
8. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya
rasa dendam, benci, saling curiga dll.
9. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
10.
Dominasi
bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang
berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap
hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya
akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan
menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi
pihak tersebut.
- Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk menghindari konflik.
F.
CONTOH KONFLIK
-
Konflik
Katolik-Protestan di Irlandia
Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
-
Banyak
konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini
termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik
di Rwanda, dan
konflik di Kazakhstan.
G. PROSES KONFLIK
Menurut Robbins
(1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
5.
Oposisi atau
ketidakcocokan potensial
Adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya
koinflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah
satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut
dikelompokkan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu
masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi
dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari konflik.
Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan
anggotatujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari
konflik. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan
karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal
dari konflik.
6. Kognisi dan personalisasi
Adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap
konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan
eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik.
Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan
emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan,
frustasi dan pemusuhan.
7. Maksud
Adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari
pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan
tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten.
Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu:
- Bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat
untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya
terhadap pihak lain dalam suatu episode konflik;
- Berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik
masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak,
kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak;
- Mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang
berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan
suatu konflik;
- Mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan
seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk
menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya; dan
- Berkompromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing
pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya
masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat untuk
menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun,
serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap
pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil.
8.
Hasil
Adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan
menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan
suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi
kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya
terang-terang an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif,
ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham
kecil.
H.
POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam
kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus
ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik
berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik
menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus
diselesaikan.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode
resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode
penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar
konflik dapat diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan
(smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik
dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang
mengarah pada perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya,
memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan
memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh
kedua belah pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai
yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif.
Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya
ditempuh cara:
6. Paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan
paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan
reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya;
7. Penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut;
8. Bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga
perselisihan akan semakin tajam;
9. Koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan
tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa
menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’;
10.
Tawar-menawar
distribusi. Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing
pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang mejadi haknya, dan jika
terjadi konflik mereka merasa menjadi korban konflik.
Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga
cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan
(arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi
berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan
konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara
efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
5.
Harus mampu mengambil
keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain;
6.
Lembaga harus bersifat
monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian;
7.
Lembaga harus mampu mengikat
kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik; dan
8.
Lembaga tersebut harus
bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di
antara beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya
akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi,
dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk
pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan
penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik
dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik
bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan
keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan
mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk
menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.
Pola penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan
menggunakan strategi seperti berikut:
5.
Gunakan persaingan dalam
penyelesaian konflik, bila tindakan cepat dan tegas itu vital, mengenai isu
penting, dimana tindakan tidak populer perlu dilaksanakan;
6.
Gunakan kolaborasi untuk
menemukan pemecahan masalah integratif bila kedua perangkat kepentingan terlalu
penting untuk dikompromikan;
7.
Gunakan penghindaran bila ada
isyu sepele, atau ada isu lebih penting yang mendesak; bila kita melihat tidak
adanya peluang bagi terpuaskannya kepentingan anda;
8.
Gunakan akomodasi bila
diketahui kita keliru dan untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik
didengar, untuk belajar, dan untuk menunjukkan kewajaran; dan
Gunakan kompromis bila tujuan penting, tetapi tidak layak
mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih tegas disertai kemungkinan
gangguan