Rabu, 31 Agustus 2016

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimology) berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie,) Toleran mengandung pengertian bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[1] Dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Warson Munawwir, bahwa toleransi biasa disebut tasamuh yang memiliki akar kata samuha- yasmuhu-samhan,wa simaahan,wa samaahatan, artinya adalah sikap membiarkan dan lapang dada, murah hati, dan suka berderma.[2] Sedangkan menurut istilah (terminology), Indrawan WS. menjelaskan bahwa pengertian toleransi adalah menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri; Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri.[3] Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikan toleransi dengan "sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya).[4]


Pengertian Konsep Toleransi antar umat beragama

Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)


Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah bahkan keliru. Dengan sikap itu, ia juga tidak mencoba menghapuskan ungkapan-ungkapan yang sah dari keyakinan-keyakinan orang lain. Sikap seperti ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Selain itu, tidak berarti juga acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas pemahaman ada tidaknya Tuhan (agnotisisme) atau paham keraguan (skeptisisme), melainkan lebih pada sikap hormat terhadap maratabat manusia yang bebas.[5]

Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi). Oleh karena itu, pengertian toleransi beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk agama yang menjaga keyakinan dan kebebasannya untuk menjalankan ibadahnya. Toleransi beragama menuntut kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan tanggung jawab sehingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminasi egoisme golongan. Toleransi beragama bukanlah sesuatu yang dapat dicampuradukan, melainkan mewujudkan ketenangan, saling menghargai, bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina untuk gotong-royong dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagiaan bersama.

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran agama masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama, sikap toleransi perlu dikembangkan guna menghindari konflik. Dan biasanya konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.[6]

Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata toleransi (tasamuh) secara tersurat (eksplisit) sehingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara tersirat (implisit) al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan toleransi dalam kehidupan.

Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, sudah selayaknya bagi manusia untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan lain sebagainya.

Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini kita boleh bebas menganut agama tertentu kemudian esok hari kita menganut agama yang lain, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat dan mendiskreditkan agama atau kelompok lain. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujarat ayat 11:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[7] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[8] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujarat: 11)

Jadi, sikap kaum muslimin terhadap penganut agama lain sudah sangat jelas sebagaimana yang telah diterangkan dalam ayat ini, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menajdikan perbedan agama sebagai alasan untuka tidak menjalani hubungan kerja sama dengan mereka, terlebih bersikap intoleran terhadap mereka. Karena Islam sama sekali tidak melarang memeberikan bantuan kepada siapapun selama mereka tidak memusuhi orang Islam, tidak melecehkan simbol-simbol keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Kaum muslim diwajibkan oleh al-Qur’an untuk melindungi rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang non muslim, sebagaimana firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS.Al-Hajj: 40)

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktek sosial, dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial dan kehidupan bertetangga serta bermasyarakat, bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi dapat direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu hari beliau dan para sahabat sedang berkumpul, kemudian lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah dan Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab: “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Allah swt. dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dengan mereka dari sisi kemanusiaan.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskannya pada ayat terakhir surat al-Kafirun yang berbunyi: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem keesaan Allah secara mutlak, sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah swt. juga menjelaskan tentang prinsip yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling menghujat.

Pada taraf ini, konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah saling bekerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, petunjuk, dan hidayah adalah hak mutlak Allah swt. Maka dengan sendirinya kita tidak dibenarkan memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.

Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain ketika tidak terdapat titik temu, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Saba ayat 24-26:

“Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, Kemudian dia memberi Keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui”.

Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak dapat saling menghormati haknya masing-masing, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8:

Advertisement
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.(QS. Al-Mumtahanah: 8)

Al-Qur’an juga berpesan agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak. Firman-Nya dalam QS an-Nahl ayat 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS an-Nahl: 125)

Hadis dan Riwayat yang Berbicara tantang Toleransi

حَدَّثَنِي يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Rasullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, kemudian beliau menjawab: al-Hanifiyyah al-Samhah (agama lurus yang penuh toleransi).

Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu' karena setelah diteliti para perawinya termasuk perawi yang tsiqah. Begitupun setelah di-takhrij dengan CD Mausu'ah al-Kutub al-Tis'ah, ternyata hadits ini hanya terdapat dalam riwayat Ahmad bin Hambal saja, dengan nomor hadits 2003 pada kitab min musnad bani hasyim bab bidayah sanad Abdullah ibn ‘Abbas. [9]

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, demikian juga dengan tata cara ibadahnya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam lahir.

Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam sejarah agama Islam dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan interaksi sosial mereka (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragam Yahudi, bahkan nabi sendiri pernah meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan memerintahkan para sahabat untuk berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang beragama Nasrani.[10]

Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas bin Malik bhawa ketika Nabi wafat, baju beliau masih digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal sebenarnya beliau bisa meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukan dengan maksud untuk mengajarkan kepada umatnya bahwa kerja sama denga orang-orang non muslim merupakan sikap dan pandangan Islam.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang masih kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah saw: "Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?" Rasulullah saw. menjawab: "Boleh". Kemudian turunlah ayat ke-8 Surat Al-Mumtahanah, yaitu:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)

Ayat itu menegaskan bahwa Allah swt. tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[11]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar yang telah diceraikannya pada zaman jahiliyah) datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu Bakar, dengan membawakannya hadiah, Asma menolak pemberian itu bahkan tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. dan kemudian Rasul pun memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya. (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair)

Asma’ Binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ketika Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah mengunjungiku dalam keadaan sangat mengharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku menolaknya dan merasa kecewa. Kemudian aku pun bertanya kepada Nabi saw: “Apakah boleh aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?”. Beliau menjawab: ”Ya.”

Ibnu ‘Uyainah menambahkan keterangan bahwa kemudian Allah swt. menurunkan ayat ke-8 surat Al-Mumtahanah tersebut.[12]

Ibnu Umar berkata bahwa ayahnya ,Umar RA, pernah melihat sehelai sutra yang sedang dijual, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jum’at, dan jika anda dikunjungi utusan-utusan.” Beliau menjawab: “Hanya saja orang mengenakan sutra ini adalah orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun diakhirat.” Kemudian suatu hari Nabi saw. pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau mengirimkan sebagian kepada Umar, lalu Umar berkata: “Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya sedangkan anda telah mengatakan sutra itu seperti itu?” Beliau berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau menjualnya atau memakainkannya kepada yang lain.” Kemudian Umar mengirimkannya kepada salah seorang saudaranya yang ada di Makkah, sebelum saudaranya itu masuk Islam.[13]

Dan Mujahid pernah berkata: “Saya pernah berada disisi Abdullah bin ‘Amr dan pada saat itu pelayannya sedang menguliti seeokr kambing. Kemudian Abdullah berkata: “Hai pelayan! Kalau engkau sudah selesai maka dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu.” Tiba-tiba salah seorang berkata: “(Kau dahulukan) orang yahudi? Semoga Allah memperbaiki anda.” Abdullah berkata: “Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang tetangga, sampai-sampai kami takut atau bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan tetangga itu sebagai ahli waris.”[14]

Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim

Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat:10)

Pada ayat di atas, Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan diperintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.

Ayat di atas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia, sebagaimana yang Allah terangkan dalam QS.Al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS.Al-Hujurat:12)

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan yang mungkin terjadi pada keluarga kita atau saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara, sehingga akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian, dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Sunnah).

Kesimpulan dan Penutup

Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yakni:

v Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama.

v Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

v Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi).

v Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.

v Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.

v Orang-orang mu’min itu bersaudara, dan mereka memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim.

v Orang mu’min dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain.

v Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan.

Mungkin hanya ini yang dapat penulis jelaskan tentang toleransi, baik antar umat beragama maupun antar sesame muslim sendiri. Harapan penulis, semoga makalh ini dapt memberikan kontribusi yang nyata dalam memperkaya khasanah keilmuan Islam. Penulis sadari bahwa sangat berlebihan kiranya jikalau makalah ini dikatakan sempurna karena di dalamnya masih banyak terdapat berbagai kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna penulisan selanjutnya agar lebih bagus lagi.

Catatan Kaki

[1] Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IV, 1995, hal 389

[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002 ) hal 702

[3] Indrawan WS, Kamus Ilmiyah Populer, 1999, hal 144

[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia

[5] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk Para Da’i), (Jogjakarta: LKIS), hal. 115

[6] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk Para Da’i), (Jogjakarta: LKIS), hal. 116

[7] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

[8] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.

[9] Sakhr, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, (Jami’ al Huquq Mahfudzhah Lisyirkati al Baramij al Islamiyati al Dauliyah, 1991) Sunan Ahmad, Bidayah Sanad Abdullah bin Abbas, ruwwat, jarh wa ta’dil

[10] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk Para Da’i), (Jogjakarta: LKIS), hal. 118

[11] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’qn Al-adzim Juz IV terj. Salim Bahraisy dan Said Bahraisy,(Bandung: Bina ilmu, 1993) hal 349.

[12] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh Al-Muhaddits Al-Allamah Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Al-Aldabul Mufrod 19/25

[13] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no. 20/26.

[14] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no 45/128.

0 komentar:

Posting Komentar

STATISTIK

HTML hit counter - Quick-counter.net
Diberdayakan oleh Blogger.

POSTING POPULER

TRANSLATE HALAMAN

Penayangan bulan lalu

SMS GRATIS