Dalam pertemuan bilateral itu, Indonesia membahas mengenai 3 isu utama yakni penetapan batas wilayah, kerja sama keamanan di perairan Sulu dan sekitarnya serta kerja sama perlindungan warga negara Indonesia (WNI).
Mengenai isu perbatasan, kedua negara telah menyelenggarakan 29 perundingan teknis batas maritim dimulai dari tahun 2005 hingga awal 2016. Perundingan teknis darat diselenggarakan pada tanggal 15-17 Maret di Jakarta.
“Untuk mempercepat proses perundingan perbatasan maritim itu, Indonesia dan Malaysia telah menunjuk Utusan Khusus (special envoy) yang ditunjuk oleh kedua kepala pemerintahan pada bulan Juli 2015. Malaysia menunjuk Tan Sri Mohd. Radzi Abdul Rahman, sedangkan Indonesia memilih Duta Besar Eddy Pratomo,” ujar Kementerian Luar Negeri melalui keterangan tertulis yang diterima Rappler pada Senin, 1 Agustus.
Sementara, isu keamanan di wilayah perairan Sulu menjadi perhatian kedua negara, karena warga Indonesia dan Malaysia menjadi korban penculikan kelompok bersenjata Abu Sayyaf (ASG). Sebanyak 5 warga Malaysia kembali diculik oleh ASG pada tanggal 18 Juli di perairan Lahad Datu. Walau diklaim sempat menjadi perairan yang aman, namun adanya tumpang tindih klaim menyebabkan ASG bisa menculik di area tersebut.
Di area itu pula 3 WNI diculik pada Sabtu malam, 9 Juli. Sebelumnya, 7 WNI sudah diculik pada bulan Juni lalu.
“Malam ini Pak Menhan sudah berangkat ke Bali. Menhan Malaysia pun sudah bertolak ke Bali untuk melakukan pertemuan trilateral. Ini merupakan turunan dari apa yang kami lakukan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei lalu,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi usai mendampingi Presiden Jokowi bertemu PM Najib di Istana Negara pada Senin, 1 Agustus.
Sebelumnya sempat dijadwalkan pertemuan trilateral di Kuala Lumpur namun batal terlaksana. Retno berharap Standar Operasi Prosedur (SOP) dari patroli bersama ini bisa segera terealisasi.
Lalu, apa realisasi dari SOP tersebut? Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda itu menjelaskan selama ini yang dibahas adalah penetapan koridor-koridor bagi militer ketiga negara untuk berlayar.
“Dengan adanya penetapan koridor-koridor tersebut, maka akan lebih memudahkan kami untuk menjaga keamanannya,” tutur Retno.
Sementara, penempatan pasukan penjaga militer di setiap kapal yang berlayar, kata Retno masih harus dipertimbangkan. Retno mengatakan sebelum penempatan pasukan militer itu terealisasi, ketiga negara juga harus mempertimbangkan ketentuan yang berlaku dalam Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan aturan internasional lainnya.
Perlindungan terhadap WNI menjadi salah satu fokus utama yang juga dibahas oleh kedua pemimpin negara. Hal ini tidak mengherankan sebab berdasarkan data dari Kemlu, saat ini terdapat 1.393.819 WNI di Negeri Jiran. Mereka bermukim di sana sebagai pelajar, tenaga kerja dan turis.
Belum lagi terdapat ratusan WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia. Sebagian besar dari mereka juga akibat terlibat kasus narkotika.
“Saya setuju dengan ide Bapak Presiden tadi menyangkut isu menyangkut perlindungan tenaga kerja. Mereka harus dikirim melalui jalur resmi dan perlu didata jika bekerja di Malaysia. Selain itu, mereka juga perlu meningkatkan kemampuannya,” ujar Najib ketika memberikan keterangan pers di Istana Negara.
Sebagai tindak lanjut, kata Najib, kelompok kerja kedua Menteri Tenaga Kerja diminta untuk bertemu dan mendiskusikan hal tersebut.
Kedua pemimpin negara kemudian meneken dua dokumen kerja sama di bagian akhir forum konsultasi tahunan. Kedua dokumen itu yakni perjanjian negara tuan rumah bagi sekretariat dewan negara-negara produsen minyak sawit dan perjanjian ASEAN Banking Integration Framework antara OJK dengan Bank Negara Malaysia.
Najib akan berada di Indonesia hingga hari Rabu. Pada Selasa, 2 Agustus, dia turut menjadi pembicara kunci dalam forum Forum Dunia Ekonomi Islam (WIEC) di Jakarta Convention Centre (JCC).
0 komentar:
Posting Komentar